CERPENKU

KEINARRA
Oleh Cinthya Saraswati
Keinarra kembali merapatkan jaketnya. Dingin hari ini membuat aktifitasnya sedikit terganggu. Ia menatap kembali jalan di taman itu. “Mana si tengil itu? awas saja kalau dia sampai telat.” Angin kembali berhembus. Kini dedaunan pun ikut serta turun terbawa bersama hembusan angin. Jam digital Keinarra sudah menunjukkan jam 3 sore. “Pasti di tilang!” Keinarra membuat suatu praduga sendiri.
“Kei!” suara hentakan kaki semakin terdengar. Seseorang berlari menghampirinya. Nafasnya tersengal-sengal. Keinarra menengok ke arah sumber suara. Memperhatikan sekitarnya. “Ada yang kurang, mana motormu?” tanya Keinarra kepadanya.
Ia masih sibuk mengatur nafasnya. “Ditilang lagi? Hah?” Keinarra berdiri. Berkacak pinggang dengan sedikit melotot pada lelaki itu. lelaki itu hanya terkejut dan Ken belum bisa berkata. Ia masih sulit berbicara. “Sudah ku bilang, jangan lewat pusat kota, disana banyak polisi yang patroli. Kapan kamu mau dengar aku? Hah?” Keinarra menjewer telinga lelaki itu.
“Aduh! Sakit Kei!!” elaknya masih tersengal-sengal. “Kamu gak tau masalahnya. Aku gak ditilang, Kei”
“Terus? Mana motor kamu?”
“Tadi, waktu aku mau kesini, motorku mogok, bannya kempes. Ternyata bocor. Jadi motorku di bengkel. Gitu ceritanya.” Ujar Ken menjelaskan.
“Kamu nggak ngomong sih aku kan keburu menyimpulkan sendiri.”
“Aku masih atur nafas tadi. Kamu aja yang ngga denger.”
“Bodo”ujar Keinarra kembali duduk di pohon.
“Jadi gimana sekarang?”                    
“Gimana apanya? Ya tetep latihan dong. Nih, aku bawa caturnya.”
“Loh kok main catur? Kan kamu mau belajar piano.”
“Heh! Piano itu besar. Mana bisa aku bawa ke sini? Yang aku bisa bawa ya ini” ujar Keinarra menujukkan kotak papan caturnya.
Lelaki itu menggelengkan kepalanya. Ia melirik jam digital Keinarra. “Jam 15.15 WIB. Kita telat 15 menit.”
“Hey! Itu kamu yang membuat telat!” Keinarra bersungut-sungut
Lelaki itu tak mendengarkan Keinarra “Ayo masuk ke studio.” Ia menarik tangan Keinarra. Keinarra mengikuti langkah lelaki itu dan masuk kedalam studio. Mulutnya masih berkomat kamit mengikuti celotehan lelaki di depannya yang mengatakan bahwa waktu ia berlatih hanya tinggal 20 hari lagi.
“Ayo. Berlatihlah...” ujar lelaki yang bernama Ken itu.
“Kenapa kau mau melatihku? Umurku saja hanya tinggal sebulan lagi.”
“Itu kan kata dokter.”
“Itu pasti terjadi, Ken!”
“Siapa kau ini hah? Apakah dokter itu tuhan? Yang pasti itu datangnya dari tuhan. Dokter hanya menduga saja. Iya kan?”
“Sadar ngga sih, Ken, kamu lagi ngajarin orang sakit?” ujar Keinarra.
“Badan kamu memang sakit, tapikan pikiran kamu sehat. Ayo main pianonya. Aku dan kamu itu sama.”
Keinarra kembali bersungut-sungut. Jari mungilnya kini memainkan satu nada, dan terus menjadi satu melodi indah. Keinarra mengidap kanker tulang. Ia di diagnosis akan mengalami kelumpuhan total. Tapi mungkin gejala yang ada bisa sedikit di obati. Tapi tidak untuk menyembuhkannya. Keinarra kembali menikmati alunan nada-nada indah dari jari jemarinya. Sebelum ia tak bisa lagi menggunakan kakinya. Jika suatu saat kelumpuhan itu akan datang, setidaknya ia pernah melakukan semua hal yang menurutnya indah untuk dilakukan. Termasuk berlari.
“Ding...”
“Stop. Kau naikkan 1 mayor ke nada G.”
Semua nada yang telah ia pelajari. Alunan musik yang ia mainkan terhenti ketika nada di balok nada itu telah habis ia mainkan.
“Kau hebat Keinarra. Kau ada peningkatan. Teruslah semangat seperti itu.” ujar Ken mengacak-acak kepalanya.
“Ih! Jangan kau acak-acak kupluk ku. Kalau rusak, rambutku akan semakin rontok. Kau sih enak rambut nya pendek. Hahaha” Keinarra tertawa terbahak-bahak. Lepas. Seperti tak ada beban di hatinya. Ken hanya tersenyum kecil dan menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
“Hahahaha. Tapi...” Keinarra mengentikan tawanya. Ia menatap langi-langit di studio itu. “Kalau rambutku ini semakin habis, dan kantung mataku menghitam karena pengaruh obat. Apa kamu masih mau mengajariku piano? Dan jika aku lumpuh, siapa yang akan kau ajari main piano lagi?” matanya mulai berkaca-kaca. Penyakitnya makin lama makin tak terkendali. Diagnosa dokter yang mengatakan umurnya takkan bertahan lama pun sudah sampai ke telinga Keinarra.
Ken mendekat padanya. “Kalau rambutmu ini semakin habis dan nanti botak, aku juga akan mencukur habis rambutku dan tetap akan menjadi pelatihmu. Dan kalau kau bilang kau akan lumpuh, aku yang akan mendorong kursi rodamu kemanapun kau mau. Aku masih tetap disini. Lalu apa yang kau khawatirkan? Kita akan tetap berkeliling di taman ini tiap harinya kok.” Ucap Ken.
Keinarra menghapus air matanya. Ia menoleh ke arah lelaki itu. tersenyum. Keinarra selalu puas dengan jawaban dari Ken. Ia semangat Keinarra untuk tetap hidup dan menjalani hari dengan kemotherapy setiap harinya. Meskipun Keinarra tak pernah tahu, apakah Ken menyayanginya sama seperti ia menyayangi Ken, atau hanya menganggap Keinarra sebagai murid lesnya. Tapi Keinarra tak mengharapkan itu. Dengan ia mencintai Ken tanpa Ken ketahui, hatinya terus tenang. Dan bahkan bila suatu hari nanti Ken ternyata tak pernah meliriknya. Ia akan tetap mencintai Ken.
“Hari ini, latihannya sampai disini dulu ya. Kita lanjutkan minggu depan. Terus berlatih sendiri. ingat, minggu depan kita gladi bersih. Dan 2 hari kemudian kau akan tampil di panggung. Jangan demam panggung. Oke.” Ucap Ken padanya.
“Siap bos!” ujar Keinarra merapikan jaketnya.
“Kau pulang naik apa Ken? Motormu kan di bengkel.”
“Mungkin naik angkutan umum.”
Mereka keluar dari tempat studio dan menyusuri pinggiran taman di sekitar jalan raya itu.
“Nah, itu, kau sudah di jemput oleh sopirmu.” Ken menunjuk ke arah mobil sedan milik Keinarra yang terparkir di sudut taman kota.
“Oiya, kau benar. Yasudah, aku pulang dulu ya.”
“Ya, hati-hati. Jaga kondisi badanmu!” ujar Ken
Keinarra mengangkat jempolnya keatas sembari terus berjalan ke arah mobilnya.
....................................................................................................................................
Alunan nada indah itu kembali tersengar di Studio. Kini, sudah lebih lancar dan indah. Jemari yang sama kembali memainkannya dengan lihai. Keinarra kembali memainkannya dengan indah.
“Prok...prok...prok...” tepuk tangan yang keras dari arah pintu studio terdengar oleh Keinarra. Ia menghentikan permainannya. Menengok kearah pintu.
“Ken?” Keinarra terdiam melihat gurunya itu kini terduduk di kursi roda.
“Permainanmu semakin bagus, Keinarra.” Ucap Ken tersenyum bangga.
“Terima kasih.” Ucap Keinarra senang mendapat kritikan baik dari Ken.
“Ini, aku tahu kau pasti capek belajar piano dari tadi.” Ken menyodorkan minuman pada Keinarra. Keinarra yang tak enak hati tentu menerimanya.
“Emm... Ken, boleh aku tanya sesuatu?” Keinarra bertanya padanya hati-hati.
“Apa?” matanya kini menatap ke arah Keinarra. Ia tahu Keinarra sedang memperhatikan penampilannya hari ini.
“Kok, kamu... kursi roda ini... sweater... rambutmu...” Keinarra susah untuk mengucapkannya. Ia seperti berkaca pada dirinya sendiri, di tubuh Ken.
“Oh, masalah kursi roda, kemaren aku jatuh dari tangga, terus kaki aku patah, jadi harus pake kursi roda. Em... sweater ya? Aku sengaja pake ini. Diluar kan dingin. Dan masalah rambut aku kenapa botak, aku mau ganti style rambut, tapi tukang cukurnya salah potong, ya aku bilang aja sekalian botak mas. Gitu.” Ujar Ken berkata sekenanya.
Keinarra hanya mengangguk, dan mengiyakan apa yang Ken katakan. “Besok acaranya, Ken. Datang ya.” Keinarra menyerahkan tiket pentas seni pada Ken.
“Tentu.” Ucap Ken padanya. “Aku ambil ya tiketnya.” Ujar Ken mengambil tiket yang Keinarra sodorkan untuk dirinya. Keinarra mengangguk senang.
....................................................................................................................................
“Ken belum datang, bu?” ujar Keinarra pada ibunya di belakang panggung. Hari ini saatnya Keinarra tampil dengan pianonya.
“Belum. Dia bilang, masih di jalan” ucap ibunya membenahi kerah baju Keinarra. “Nah, kamu sudah cantik. Sebentar lagi kamu yang tampil. Jangan lupa berdoa ya nak.” Ujar ibunya tersenyum pada Keinarra. Keinarra tersenyum dan mengangguk pada ibunya.
“Saudari Keinarra, silahkan naik ke atas panggung. Giliranmu untuk tampil.” Panitia pentas seni memanggil Keinarra yang sedang asik mengobrol dengan ibunya itu. “Bu, doakan aku...” ujar Keinarra pada ibunya.
Keinarra naik ke atas panggung. Ratusan orang bertepuk tangan menyambutnya naik ke panggung. Cantiknya. Dibalut gaun cream yang indah ia memulai permainannya. Jari jemarinya telah berada diatas piano. Nada demi nada diperdengarkan. Alunan indah dari jemari yang lihai memainkan piano terdengar indah dan membuat semua orang hanyut terbawa suasana. Permainan piano selesai. Tepuk tangan yang meriah dari semua orang mengiringi Keinarra. Tapi, masih ada yang menggajal dalam hati Keinarra. Mana Ken?
Matanya masih teKens mencari Ken diantara para penonton. Tapi tak terlihat sama sekali batang hidungnya. ‘Apakah Ken lupa?’ Keinarra mendengus kesal. Ken pasti lupa. Keinarra berdiri. Menghadap para penonton. Tepuk tangan semakin riuh mengiringinya. Ia membungkuk, memberi tanda hormat. Keinarra membalikkan badannya dan melangkah keluar panggung. Tapi baKen beberapa langkah, matanya berkunang-kunang. Kakinya tak bisa ia angkat. “Tuhan... aku kenapa?” Keinarra jatuh tak sadarkan diri di atas panggung. Semua yang melihat mendadak berubah suasana. Panik. Panitia pentas dan ibu Keinarra membawanya ke UGD.
....................................................................................................................................
“Keinarra harus dioperasi bu. Kanker tulangnya semakin tak terkendali. Pertahanan tubuhnya sudah menolak untuk sekadar di kemo lagi”
“Apapun dok. Tolong lakukan yang terbaik untuk Keinarra. Keinarra harapan kami satu-satunya dok”
Keinarra tersadar. Ia sadar ibunya sedang berdialog dengan dokter.
“Bu...” Keinarra perlahan memanggil nama ibunya. Ibunya mendekati Keinarra.
“Ya sayang...”
“Keinarra dirumah sakit lagi ya bu?” kata-katanya pelan. Keinarra tahu umurnya sudah tak lama lagi.
“Bu, jangan sedih... Keinarra sayang ibu. Bu, Keinarra kan kuat.” Keinarra membelai pipi ibunya. Keinarra dibawa oleh suster rumah sakit ke ruang operasi. Suasana kembali hening. “Tuhan... aku pasrah padamu.” Keinarra memasuki Kenang operasi. Dan operasi pun dimulai.
....................................................................................................................................
“Nona Keinarra.” Suster memanggil namanya. Operasi seminggu yang lalu berhasil.
“Kau boleh pulang, nona. Mari saya bantu papah anda ke kursi roda.” Suster itu memapahnya ke kursi roda.
“Kau tau nona, kau adalah perempuan luar biasa. Hanya kau yang berhasil kami selamatkan. Sedangkan 2 pasien kami yang mengidap penyakit seperti anda, Ken dan Dwi meninggal di meja operasi. Ah sayang... orang sebaik mereka semua haruss pergi duluan” Suster itu menghela nafasnya saat bercerita.
Keinarra menengok ke arah suster itu. “Ken, sus?” ia bertanya.
“Oh ya, Ken. Dia juga sama kuatnya sepertimu. Jago main piano juga sepertimu. Tapi sayang, tuhan berkehendak lain. Ia tak bisa diselamatkan. Kankernya sudah stadium 4. Sudah lama ia di kemotherapy disini. Tapi hasilnya bukannya membaik, justru semakin menurun.”
Mata Keinarra berkaca-kaca. ‘apakah yang suster maksud itu adalah Ken orang yang mengajarinya piano?’
“Sus, dimana orang yang bernama Ken itu?”
“Dia sudah dimakamkan seminggu yang lalu, nona?”
“Oh... emm.. maksudku apakah dia Ken yang suster maksud bernama Ken Toru?”
“Ya, itu nama lengkapnya. Kok nona tahu? Apa nona mengenalnya?”
“Dia guru pianoku...” ucap Keinarra terdiam menahan air matanya. Ia tak pernah mengira Ken memiliki penyakit sepertinya. Ia tak pernah menyadari dan merasakan apa yang Ken rasakan. Dia hanya memikirkan penyakitnya. Hanya penyakitnya, tapi tak bisa melihat orang lain yang memiliki kondisi yang sama sepertinya.
....................................................................................................................................
Hari ini, tepat 40 hari kepergian Ken. Dan Keinarra sudah mengetahui semuanya dari keluarga Ken. Saat Ken berlari hanya agar tidak telat, justru saat itu semua persendiannya mengalami sakit yang hebat. Tapi Ken tak pernah mengeluhkannya. Saat ia duduk dikursi roda, saat itu ia habis menjalani kemotherapy di rumah sakit. Dan alasan kenapa Ken tak datang dalam pertunjukan pentas seni Keinarra, karena Ken sudah menghembuskan nafas terakhirnya.
Jika kau tak datang saat itu
Mungkin saat itu keputusasaan lebih kuat menyergapku
Jika kau tak tersenyum kepadaku
aku takkan pernah tahu suatu kehidupan
dan lewat dirimu
aku tahu manisnya hidup



Comments

Popular posts from this blog

Terimakasih teman SMA ku..

Contoh Narrative Text

Kunjungan SMPN 1 Kadipaten ke SMPN 5 Cirebon